Thursday, November 26, 2009

Kebohongan dalam Komunikasi Publik

Penulis: Prof Dr. Alois Agus Nugroho

Akhir-akhir ini, sebagian publik kita bingung setiap kali mengikuti berita media massa. Dalam kasus "Cicak vs Buaya", Antasari Azhar, dan Bank Century, tidak mudah membedakan yang benar dan yang salah. Sebagian lagi gusar, karena kalau para pejabat publik saling memberikan kesaksian kontradiktif di depan publik sambil menyatakan bahwa kesaksian mereka benar, bahkan dengan bersumpah, publik merasa bahwa setidaknya satu pihak pasti berbohong.

Begitu kompleks masalahnya, sehingga publik berpikir bahwa kebohongan yang terjadi pasti untuk menutupi kebohongan yang lebih besar lagi. Kata politikus Amerika abad ke-19, Robert Green Ingersoll, a lie will not fit anything except another lie". Dalam hal ini, Ingersoll menggarisbawahi pendapat Immanuel Kant, filsuf Jerman abad ke-18, yang menganggap kebohongan secara kategoris keliru secara moral.

Namun, dalam bukunya Bureaucratic Responsibility (1986), John Burke punya pendapat yang lebih bernuansa. Menurutnya, pendapat Immanuel Kant tak selamanya benar. Kita sering melakukan kebohongan sehari-hari dalam pelbagai basa-basi, seperti memulai perkenalan dengan I am glad to know you, memuji enaknya santapan yang disajikan oleh tuan rumah, padahal kita merasakan persis yang sebaliknya. Kita sering melakukannya tanpa merasa bersalah, karena buruknya tak ada, sedangkan akibat baiknya juga tak terlalu signifikan, seandainya ada

Maka, kebohongan tidak hanya harus diukur secara terisolasi, seperti dilakukan Kant, juga harus diukur dari kaitannya dengan akibat-akibat yang timbul. Tidak diingkari bahwa banyak kebohongan menimbulkan akibat buruk bagi banyak orang lain. Tapi, kadang-kadang kebohongan menjauhkan kita dari akibat buruk yang besar, bahkan akan mendatangkan akibat baik yang besar pula.

Sebagai contoh, pada 1960, Presiden Eisenhower berbohong dengan mengatakan bahwa pesawat U2 yang tertembak jatuh di wilayah Uni Soviet bukanlah pesawat mata-mata. Kebohongan diplomatis ini dianggap penting untuk menyelamatkan muka Amerika Serikat dalam politik luar negeri. Bahkan, mungkin, kebohongan diplomatis itu menghindarkan dunia dari katastrofe akibat konflik terbuka. Kebohongan diplomatis itu juga dianggap berdampak minimal bagi demokrasi Amerika Serikat. Bahkan, dalam beberapa kasus, kebenaran disembunyikan dari publik domestik.

Melumpuhkan Demokrasi

Namun, bagi Burke, diperbolehkannya "kebohongan publik" itu lebih merupakan kekecualian dan bukannya rule. Umumnya, se-orang pejabat publik dalam sistem demokrasi wajib untuk tak berbohong kepada publik. Dalam demokrasi sebagai "deliberasi publik", publik punya hak untuk mengetahui informasi-informasi yang benar, sehingga partisipasi mereka dapat dijalankan secara benar. Dalam konteks itu, kebohongan publik mencederai demokrasi, karena membuat institusi-institusi demokrasi tidak lagi dapat dipercaya.

Memang, dalam republik demokratis, hak publik untuk mendapatkan informasi yang benar akan melemah bila dibandingkan dengan hak untuk tahu dari pihak legislatif dan yudikatif, utamanya dalam soal-soal sensitif menyangkut keamanan negara. Namun, hak publik untuk tahu harus diberi bobot tinggi, bila informasi itu memengaruhi partisipasi publik. Utamanya, partisipasi publik dalam pemilu perlu diberi perhatian istimewa, sehingga kebenaran menyangkut sumber dana kampanye, misalnya, patut dikuakkan sebenar-benarnya. Dalam hal ini, kebohongan publik mengancam penyelenggaraan pemilu-pemilu berikutnya, memerosotkan kredibilitas pada demokrasi dan, dengan demikian, juga mengkhianati cita-cita Reformasi.

Dalam hal kampanye pemilu, Burke mengambil contoh kasus kebohongan publik dalam pilpres Amerika Serikat. The Pentagon Papers mengungkapkan bahwa pada 1964, Lyndon Johnson dan para pembantunya aktif merencanakan gelar pasukan lebih besar di Vietnam. Dengan alasan keamanan nasional, Johnson memang tidak harus mengomunikasikan rencana penambahan pasukan itu kepada publik. Tetapi, Johnson melakukan kebohongan publik, bila pada Pilpres 1964 dia mengomunikasikan citra dirinya sebagai penganjur perdamaian.

Terakhir, Burke menegaskan, apa pun konsekuensi yang dapat dimunculkan oleh kebohongan publik, namun di depan parlemen yang berlaku ialah pendapat Immanuel Kant. Artinya, menipu parlemen tidaklah boleh, betapa pun baik konsekuensi yang akan diakibatkannya, misalnya dalam bentuk dukungan atau persetujuan parlemen. Berbohong di depan parlemen akan menyesatkan para wakil rakyat, sehingga para wakil rakyat itu akan mengingkari kepentingan dan rasa keadilan konstituen mereka. Maka, kalau ada "kepentingan lebih besar" dalam kasus-kasus yang selama ini membingungkan publik, kepentingan itu adalah kepentingan untuk menyelamatkan demokrasi kita.

(Penulis adalah staf Pusat Pengembangan Etika Unika Atma Jaya Jakarta, mengajar Etika Komunikasi Politik di Pascasarjana Komunikasi Universitas Indonesia dan Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara).


Tulisan yang sangat bagus ketika belakangan ini kita banyak disuguhi
hingar bingarnya pemberitaan media massa tentang kasus
"Cicak vs Buaya", Antasari Azhar, dan Bank Century
justru dengan adanya tulisan ini jadi bisa
mencerahkan pemikiran masyarakat (publik)
yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh kita
semua sebagai masyarakat demokrasi.
Dimana yang ada akhir-akhir ini masyarakat (publik) menjadi
sering dipaksakan untuk menerima berbagai pernyataan,
kesaksian yang tidak logis bahkan menuju
suatu praktek kebohongan publik--padahal dengan itu semua
justru yang bisa terjadi adalah pembodohan dan penyesatan
terhadap masyarakat serta demokrasi negara
yang sedang berkembang
bisa jadi menuju ambang penurunan
bahkan suatu kelumpuhan.

4 comments:

  1. Fi, slidenya bagus-bagus ya (Alan)

    ReplyDelete
  2. Thanks ya,tapi sayangnya itu foto2nya bukan karya sendiri tapi fitur yang sudah disediakan oleh blogger ^_^

    ReplyDelete
  3. Mana yang terbaru. Fi?

    ReplyDelete
  4. Pengen bisa secepatnya tapi ada saja yang harus diurus -- hope will be soon ^_^

    ReplyDelete